hukum mandi sebelum ramadhan
Antony Lee/ Regina Rukmorini
Tujuh pasang pemuda dan pemudi duduk di depan kolam kecil yang merupakan mata air. Bergantian, kepala mereka diguyur dengan satu gayung air kembang. Seusai itu, sebuah wadah dari tanah liat yang juga berisi air dan kembang dibanting di depan kolam kecil tersebut sebagai penutup ritual.
Kegiatan ini merupakan bagian dari tradisi padusan yang digelar di Cokro Tulung, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (12/9). Padusan yang dilakukan dengan mandi di sumber air ini merupakan tradisi yang dilakukan sebagian masyarakat dalam rangka membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.
Di sekitar Klaten, Jawa Tengah, Pemandian Cokro Tulung merupakan salah satu lokasi yang cukup diminati masyarakat untuk menjalankan ritual ini, karena dianggap berhubungan dengan petilasan pemandian putri keraton. Setiap menjelang Ramadhan, ribuan orang berdesakan mendatangi lokasi ini.
Pengunjung yang sebagian besar merupakan remaja ini berdesak-desakan menyaksikan prosesi pengguyuran tujuh pasang pemuda-pemudi yang baru pertama kali diselenggarakan di Cokro Tulung. Guntoro (38), warga Sukoharjo, Jawa Tengah, juga tak luput dari desak-desakan ini. Ia datang bersama dua anaknya untuk berendam di kolam yang ada di Cokro Tulung.
Guntoro sudah menjalani ritual padusan di pemandian ini sejak masih SD. Ritual ini, bagi dia, merupakan rutinitas yang dijalani menjelang bulan puasa. “Kalau sekali saja terlewat, rasanya ada yang kurang meski sudah menjalankan puasa,” ujar Guntoro sambil tersenyum.
Ayah dua anak ini sebenarnya tidak terlalu mengetahui makna di balik padusan. Setahu dia, padusan dilakukan dalam rangka membersihkan diri. Lebih jauh dari itu, dia tidak paham. Meski demikian, padusan di Cokro Tulung selalu mampu membangkitkan kenangannya.
Dulu, Guntoro kerap membonceng sepeda kakaknya untuk padusan di Cokro Tulung. Mereka bisa lebih dari dua jam menikmati sejuknya air di sini. Akan tetapi, beberapa tahun belakangan ini kenikmatannya sudah mulai berkurang karena terlalu banyak orang berdesakan.
Pengunjung lainnya, Tomi Ariyanto (20), memiliki tujuan berbeda. Ia datang untuk mencari hiburan karena mendengar ada penampilan artis dangdut Trio Macan. Padusan, selain untuk membersihkan diri juga merupakan waktu untuk mencari hiburan bersama teman.
Kondisi ini ternyata juga dapat memberikan penghasilan tambahan bagi para tukang parkir di sekitar pemandian. Jumirin (54) mengaku hingga tengah hari sudah mendapatkan Rp 200.000. Padahal, pada hari-hari biasa ia hanya mendapatkan uang Rp 100.000 dalam satu hari.
“Lumayan bisa untuk tambah penghasilan. Padusan tahun ini memang lebih ramai dari tahun sebelumnya,” ujarnya.
Kunjungan yang ramai ini memang didukung oleh panggung hiburan yang ditampilkan oleh Pemerintah Kabupaten Klaten untuk menjadikan lokasi ini sebagai tempat wisata. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Klaten Joko Wiyono, berbagai sarana hiburan sengaja ditampilkan untuk menarik generasi muda mengikuti padusan.
“Kami tidak hanya mendorong dari sisi hiburan, tetapi juga memperkenalkan mereka terhadap tradisi jamasan atau pencucian di petilasan yang pernah digunakan oleh putri raja-raja keraton,” ujarnya.
Hiburan yang bertambah memang mampu mendongkrak jumlah pengunjung. Tahun ini jumlah pengunjung diperkirakan mencapai 15.000 orang, sedangkan tahun sebelumnya 12.000 orang. Akan tetapi, masih perlu dipertanyakan apakah padusan masih bisa disebut ritual, bukan sekadar rutinitas?
Selain di Klaten, pemandangan di sekitar alur Kali Progo di Kampung Dumpoh, Kelurahan Potrobangsan, Kota Magelang, Jawa Tengah, juga menjadi tempat padusan menjelang Ramadhan.
Di tengah alur sungai, yang biasanya dipenuhi pemancing itu, tampak rombongan berpakaian adat Jawa, kemarin. Beberapa wanita berkostum jathilan tampak siaga.
Meski dikemas berbeda, padusan di Kali Progo intinya tetap saja sebuah tradisi rutin menyambut Ramadhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar